BERAKHIR di MIKROLET ABAH

mikrolet-300x203

Terik matahari kian terasa di atas ubun-ubun kepalaku. Aku bersandar di pintu mikrolet  milik Abah sembari mengibas-ngibaskan topi kucelku, agar Aku dapat sedikit merasa mendapat angin dari kibasan topi milikku. Berkali-kaliku hela napas, sedikit melepaskan rasa penat yang bergelayut di tubuh. Lima belas menit sudah  mikrolet milik Abah berhenti di bahu jalan menanti penumpang. Abah yang sedang menghitung uang receh di dalam mobil hanya mendengus kelelahan.
”Bah, baru empat penumpang, jalan atau nunggu lagi??”tanyaku pada Abah.
“sabar Man, sepuluh menitan lagi..”jawab Abah kemudian ia mengisap sebatang rokok.
Aku berteriak-teriak mencari penumpang “meruya meruya meruya”.
“Mas, kapan berangkatnya? Saya buru-buru nih …!!” kata salah seorang penumpang sedikit kesal.
Abah hanya membalas dengan senyuman, “sabar Mba …”
Bagi Abah mendapat protes dari penumpang yang tak sabar itu sudah biasa. Semua  tak menjadi beban buatnya. Sepuluh menit berlalu hanya menambah satu penumpang.
“ayo Man jalan saja, kasian para penumpang udah nunggu lama …”seru Abah.
Aku segera naik ke pintu mikrolet. Khas para kenek angkot berdiri di pintu penumpang sembari berteriak mencari penumpang.

Hampir seharian sudah Aku dan Abah bergelut di jalan raya. Meruya dan Tanah Abang menjadi jalur tujuan mikrolet beroperasi. Panas, penat, dan keringat sudah menjadi kawan bagiku dan Abah. Seperti biasa usai salat zuhur, Abah mengajakku ke warung makan untuk sejenak melepas lelah dan mengisi perut yang sedari tadi berdendang minta diisi. Abah menyeruput kopi hitam kesukaannya, Aku perhatikan Abah begitu lekat. Abah pasti sangat lelah, apa lagi Abah kini telah rentan dimakan usia. Tenaganya tak sekuat dulu, badanya tak sekekar dulu.
Aku bergumam dalam hati, Abah, Aku janji setelah lulus SMA nanti Aku yang akan menggantikan posisi Abah. Mencari nafkah, Aku tak akan membiarkan Abah berpanas-panasan lagi seperti sekarang.
Abah melirik kearahku, melihat nasi miliku masih utuh belum Aku sentuh sedikitpun. “Man, dimakan nasinya. Kamu gak lapar??”tanya Abah yang membuyarkan lamunanku.
“iya Abah …” Aku menganguk dan segeraku lahap nasi dan tempe goreng khas warung itu. Yang kata semua pelanggannya biarpun tempe goreng tapi rasanya seperti ayam goreng. Hehhee..
Dalam perjalanan pulang, obrolan antara seorang Bapak dan anak pun selalu terjadi. Nasehat-nasehat dari Abah selalu Aku dengarkan dan tak pernah Aku ingin mengabaikannya. Abah benar-benar selalu memotivasi dan membuatku bersemangat melalui cerita-ceritanya dizaman beliau muda dulu.
“Biarpun Abah hanya supir angkot, tapi Abah tak ingin anak Abah bernasib sama seperti Abah. Abah mau anak-anak Abah menjadi orang-orang yang berhasil” begitulah kata Abah yang sering kali terucap.
“Bah.. besok Rahman gak jadi ikut study tour”kataku.
“loh?? Kenapa Man?? Uangnya kurang??”tanya Abah yang sedikit terkejut dengan keputusanku.
”enggak Bah, uang dari Abah masih Rahman simpan. Rahman enggak tega ninggalin Abah sendiri narik mikrolet.” Aku beralasan. ”Abah sudah tua, Abah juga sering sakit-sakitan. Kalau gak ada Rahman siapa yang mau membantu Abah kalau terjadi apa-apa?? Harusnya Abah lebih baik di rumah saja istirahat, biarkan Rahman yang narik Bah”lanjutku. Abah tersenyum. “Abah gak betah Man cuma duduk santai di rumah. Lagi pula mau makan apa kita kalau Abah gak narik mikrolet??. Kamu berangkat saja, Insya Allah Abah baik-baik saja”.
Entah kenapa akhir-akhir ini Aku begitu berat meninggalkan Abah sendiri dan merasa tak ingin jauh dari Abah.  Aku beruntung memiliki Bapak seperti Abah. Kuat, sabar, dan juga bertanggungjawab.
“Abah, Rahman benar-benar ingin membuat masa tua Abah lebih bahagia. Doakan Rahman terus ya Bah …”.
Abah tersenyum, “pasti Nak, doa orangtua selalu ada untuk anak-anaknya”.
Aku tersenyum.
***
Sesampainya di rumah. Sayur asam buatan Ibu telah menanti. Aku perhatikan kembali Abah yang begitu lahap menyantap makan malam walau dengan menu yang sederhana. “Man, besok jadi ikut study tour Nak??” tanya Ibu.
“Ndak Bu, Rahman gak jadi ikut” jawabku
“kenapa Nak? Memangnya ndak berpengaruh dengan nilaimu nanti?”tanya Ibu kembali.
“Insya Allah ndak bu, Rahman bantu Abah saja narik mikrolet. Lagi pula Abah sendiri Bu, Rahman ndak tega Abah panas-panasan narik mikrolet sendiri”. Kataku
Sebenarnya bukan hanya itu alasanku membatalkan untuk ikut study tour sekolah, dua hari yang lalu Aku mendengar percakapan Abah dan Ibu dari balik pintu kamarku. Ibu rela meminjam uang untuk membayar study tour. Penghasilan Abah sebagai supir mikrolet memang tak cukup untuk membayar biaya study tour yang tak murah itu. Jangankan biaya study tour, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah terasa berat aku rasakan sebagai anak. Apa lagi Abah sebagai tulang punggung keluarga. Untuk itu Aku lebih memilih menemani Abah menarik mikrolet mencari penumpang.
“ya sudah Nak, Ibu ndak bisa memaksa kamu”. Ucap Ibu.
Aku segera mengambil uang yang diberikan Ibu untuk dikembalikan.
“ini Bu, pakai saja untuk kebutuhan lainya yang sekiranya lebih penting” kataku.
Ibu merangkulku dan menangis merasa terharu. Entah apa yang Ibu harukan. Yang pasti Akulah yang paling terluka, Aku merasa benar-benar menjadi beban kedua orangtuaku.
***
Siang hari yang begitu terik,.
“Meruya.. Meruya …!!” teriakku mencari penumpang tanpa lelah.
Karena saking panasnya siang itu, Abah memintaku untuk membelikan air mineral di warung kelontong disebrang jalan. Aku menurut, namun sesampainya di penjual minuman itu, Aku sedikit mendengar keributan.
Aku menoleh “Astagfirullah!! Abah …” Aku berlari menuju arah keributan itu.
Tiga orang pemuda yang berperawakan tinggi dan berbadan kekar itu rupanya tengah memalak Abah. Abah tak mau memberikan semua hasil keringatnya setengah harian ini untuk preman-preman yang malas bekerja itu. Preman-preman itu marah, ia mengeluarkan sebilah pisau. Abah terkejut, begitu pun juga denganku. Tak ada orang yang berani menolong. Abah benar-benar ditodong oleh preman-preman pengecut itu. Dengan rasa takut dan tubuh yang bergetar melihat Abah. Aku mencoba berteriak mencari pertolongan namun tak ada seorangpun yang berani mendekat.
“Jangan sakiti Abah!! lepaskan Abah!!” Aku begitu kesal melihat perlakuan preman-preman itu.
Aku berteriak “toloooonngggg..!! toooolonnnggg…!!”Aku hanya bisa berteriak tak berani melawan.
Karena badanku terlalu kecil untuk melawan tubuh besar itu.
Dan akhirnya ”JLLEEEBBBB…!!” sebilah pisau menusuk tepat dibagian jantungku. Preman-preman itu lari tanpa rasa bersalah.
Abah terkejut dan berteriak “Rahman.. Nak. Toloongg…!!” Abah terus berteriak sembari merangkulku yang bersimbah darah.
“Abah …”Aku berucap namun pandanganku kabur, terasa gelap, dan nafasku terasa sangat sesak dan sakit. Langit tiba-tiba pekat hitam. Menandakan duka dan kesedihan. Orang-orangpun mulai berkerumun setelah Rahman menghembuskan nafas terakhirnya. Kini baru Aku rasakan kejamnya dan kerasnya hidup di Ibukota. Aku benar-benar berakhir di depan mikrolet milik Abah dan dalam dekapan Abah.
***

(Dwi Putri Fajarwati, Tadris IPS semester 5)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top