KAJIAN RADIKALISME AGAMA DALAM PEMBELAJARAN IPS
DI SMP ASSUNAH KOTA CIREBON
Oleh: Ratna Puspitasari
Staf Pengajar Tadris IPS IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Abstract
Black Thursday events of September (11 September 2001) certainly has a lot to change the image of the West against Islam, which is marked by the strengthening of the symptoms of Islamophobia. By placing these events as a context, this paper seeks to put social sciences (social sciences) as a knife analysis to explain the phenomenon of religious radicalism among young people entering the adult early adolescent junior or junior level. This perspective is expected to menemu kaneksplanasi theoretical about the phenomenon of religious radicalism that is rife in some areas in the country. The end goal is that we can minimize the occurrence of cases of radicalism.
Key word: radikalisme, stratifikasi sosial, pengetahuan
- PENDAHULUAN
Pemuda adalah sebuah kehidupan yang berdiri di rentang masa kanak-kanak dan masa dewasa di masa inilah seorang pemuda bersifat labil, kontrol emosi dan kstabilan pendirian masih bisa dipengaruh oleh pihak luar. Seorang pemuda mempunyai ciri yang khas yang menggambarkan seperti apa ia terlihat yang menunjukkan kepribadiannya. Kesimpulannya adalah bahwa seorang pemuda harus memiliki jiwa dan sikap mental yang bisa membawa ia menciptakan sebuah iklim perubahan ke arah yang lebih baik dan memiliki kemampuan sosialisasi ditengah kehidupan dimasyarakat agar ia mampu memecahkan sebuah polemik dan mampu beradaptasi dengan kehidupan sosial dan memberdayakan pendidikan dalam masyarakat (Castells, 2004, hlm. 24-26). Pemuda menjadi pacuan terdepan yang memperjuangkan hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, seperti diamatkan oleh UUD 1945 pasal 31.
Istilah psikologi pemuda tidak sepopuler istilah psikologi remaja. Penulis mencoba menjelaskan perbedaan antara pemuda dan remaja. Dengan mengutip pendapat pakar Sosiologi Kenneth Kenniston dalam (Castells, 2004), dengan menyimpulkan perbedaan antara keduanya. Pemuda, adanya perjuangan antara membangun pribadi yang mandiri dan menjadi terlibat secara sosial. Remaja: usaha untuk mendefinisikan dirinya. Itu sebabnya kebanyakan pembahasan tentang remaja lebih banyak membahas tentang konsep diri, identitas, dan sebagainya. Maka, pemuda bukanlah orang yang sibuk dengan dirinya sendiri. Sebab, yang demikian itu adalah apa yang dilakukan oleh para remaja. Pemuda adalah mereka yang mulai berpartisipasi untuk kemudian berkontribusi. Ia adalah orang yang berusaha membangun kemandirian dan keunggulan dirinya. Dengan apa yang dimilikinya itulah, ia kemudian berperan aktif dalam lingkungan sosialnya, dan bermanfaat buat sesama.
Di era global ini Pancasila mengalami masa yang dipandang semu oleh para pemuda. Bahkan fakta sosial yang dirilis oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menunjukkan kenyataan yang memprihatinkan. Lembaga ini melangsir data yang cukup memprihatinkan menyangkut kaitan pandangan kaum remaja terhadap kehidupan berbangsa. LaKIP menyebut bahwa hampir 50 persen pelajar di Jabodetabek bersedia melakukan aksi kekerasan dan tindakan tidak toleran (radikalisme) demi agama dan moral. Bahkan, dari 993 siswa SMP dan siswa SMA, 84,8 persen siswa setuju diberlakukannya syariat Islam. Sementara sebanyak 25, 8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai dasar negara.
Dengan demikian, paham radikal mulai mengambil segmen dan merasuk di kalangan remaja. Bila kenyataan ini dibiarkan, tentu saja akan mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dalam jangka panjang. Hal ini mengingat remaja adalah tonggak dan embrio kemajuan sebuah bangsa, ditangan mereka pula, nasib bangsa Indonesia dipertaruhkan. Kerusakan yang menimpa kalangan remaja, dapat dipastikan, kehancuran suatu bangsa. Tulisan ini ingin mengkaji sejauhmana radikalisme agama dalam pembelajaran IPS di MTs Assunah Kota Cirebon. Penjelasan tentang radikalisme dalam pembelajaran IPS akan dijelaskan dalam bagian berikut.
- RADIKALISME AGAMA
Untuk memahami radikalisme agama rasanya kita perlu melihat dalam konteks historisnya. Ini karena fenomena radikalisme berkaitan dengan sejarah panjang hubungan Islam dan Barat yang pernah saling menghegemoni. Dalam perspektif sejarah, kemajuan dunia Barat (Eropa) sejak masa renaissance pada abad XIV tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dunia Islam. Hal ini setidaknya dapat diamati dari rekonstruksi Eropa pada masa-masa awal yang dilatarbelakangi oleh keinginan melawan hegemoni dunia Islam di Afrika Utara, Timur Tengah, d an Erop a Timur. Seperti diutarakan Abu Rabi’ (2002: 22), bahwa pada abad XV terdapat tiga peristiwa penting yang berpengaruh kuat terhadap sejarah hubungan Islam d an Barat. Pertama, penaklukan yang dilakukan Dinasti Turki Usmani terhadap Konstantinopel pada 1453. Kedua, pengusiran umat Islam dari Spanyol. Ketiga, penemuan daratan Benua Eropa oleh Columbus.
Secara lebih spesifik penemuan Eropa oleh Columbus dapat dipandang sebagai temuan penting karena dapat dijadikan jalan pembuka bagi imperialisme dan kolonialisme Eropa terhadap dunia ketiga. Termasuk dalam kategori dunia ketiga adalah negara-negara Arab-Islam.
Apalagi Islam radikal merupakan sebuah paham keislaman yang menginginkan dilakukannya perubahan sosial politik sesuai dengan syariat Islam, yang dilakukan dengan cara keras dan drastis. Islam radikal merupakan aliran dalam Islam yang mencita-citakan terlaksananya syariat Islam dalam kehidupan sosial politik. Dan berarti pula, paham keagamaan mulai mengarah pada gerakan keagamaan dalam mencapai keinginannya (Yused, 1987). Guna mencapai cita-cita itu dilakukan tindak – tindak kekerasan yang drastis.
Dengan mendasarkan pada hasil penelitian LaKIP di atas, tampak sekali bahwa kalangan remaja kurang memahami secara baik tentang bahaya Islam radikal. Padahal, kerangka pemikiran Islam radikal mengharuskan Islam menjadi dasar negara. Dengan begitu, syariat harus diterima sebagai konstitusi negara. Tak ketinggalan pula kelompok yang mengklaim militan tersebut selalu mendengungkan kedaulatan politik ada di tangan Tuhan, sehingga gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) dianggap bertentangan dengan konsep umat yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan (Yused, 1987). Selain pula prinsip syura (musyawarah) dipandang berbeda dengan gagasan demokrasi.
- MTs Assunnah Kota Cirebon
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan tidak berpihak pada rakyat. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh tindakan menyeluruh.
Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja namun kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun, kenyataan bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran tidak memiliki sarana pendidikan memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sulit direalisasikan saat ini. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Terjadi ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga yang kekurangan merasa minder bersekolah dan bergaul. Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa-susila. Sehingga diharapkan pendidik dapat melakukan bimbingan serta pengajaran pada peserta didik hingga pada akhirnya peserta didik menjadi pribadi yang dewasa.
Pondok pesantren Assunah dengan lingkungan komunitas yang khas mengakomodasi keinginan kelompoknya untuk mendirikan lembaga pendidikan formal dari tingkat usia dini, dasar sampai pendidikan menengah. Madrasah Tsanawiyah Assunnah yang dikenal sebagai sekolah radikal di lingkungan Kota Cirebon didirikan tahun 2004 dengan ijin operasional 121232740007 beralamat di jalan Kalitanjung Nomor 52 B Kecamatan Kesambi Kota Cirebon, dengan visi “Mewujudkan Mutu pendidikan Islam, unggul dalam Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Iman Ketaqwaan berdasarkan Al Qur’an dan Assunah menurut faham Salafus Sholeh.” Didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta lokasi sekolah yang strategis dan mudah dijangkau kendaraan serta dekat dengan jalan utama yang menghubungkan antara kota dengan kabupaten Cirebon membuat MTs Assunnah berkembang pesat.
Secara umum MTs Assunnah bertujuan menanamkan karakteristik (akhlakul karimah), berakhlaq mulia, pemahaman Al Qur’an dan Assunnah, meningkatkan kecerdasan dan kecakapan serta ketrampilan yang kuat, pengetahuan yang memadai sehingga dapat berinteraksi dengan lingkungan social budaya, alam sekitar serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut.
Sebagai kelompok remaja, siswa di MTs Assunnah memiliki pandangan yang berbeda terkait radikalisme di lingkungan mereka. Sebagian besar responden menyebutkan bahwa Islam harus dijalankan sesuai dengan kandungan Al Qu’an. Radikalisme dikaitkan dengan sikap mereka sebagai muslim yang tidak kooperatif terhadap pihak non muslim.
Penyelenggaraan pendidikan IPS di MTs Assunnah secara formal hanya berlangsung 2 jam pelajaran per minggu. Dengan waktu yang hanya dua jam tersebut, muncul pertanyaan besar, apa yang didapat siswa-siswi dengan waktu sedemikian pendek tersebut yaitu rendahnya aspek kognitif apalagi aspek afektif dan psikomotorik.
Kendala ini oleh sebagian kalangan jalan keluarnya dibebankan kepada guru, di mana guru harus merancang kurikulum sedimikian rupa agar materi IPS yang diberikan tepat sesuai kebutuhan dan tuntutan. Pembelajaran diupayakan benar-benar menjadi fungsional karena sesuai dengan tujuan dan kebutuhan peserta didik yang mempelajari materi tersebut. Atau dengan bahasa lain, guru berupaya mencari model-model pembelajaran yang efektif agar materi pelajaran yang essensial minimum itu bisa diberikan secara penuh dan dipahami peserta didik.
Guru IPS di MTs Assunnah membuat kriteria-kriteria essensial minimum dari pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, kemudian penyusunan pendalaman atau perluasannya yang proses pembelajarannya bisa di sekolah atau ekstra kurikuler. Sehingga ketika peserta didik ini lulus dari jenjang pendidikan MTs, minimal bisa menjalankan hal-hal yang minimal dikuasainya. Namun sebagian kalangan lain menganggap bahwa persoalan ini tidak bisa hanya dibebankan kepada guru semata. Harus ada perubahan yang signifikan tentang waktu untuk mempelajari pendidikanIPS dan mengaitkannya dengan permasalahan Islam. Sekolah memberikan waktu yang lebih luas kepada peserta didik untuk mempelajari IPS.
Keterkaitannya dengan agama, Leight, Keller dan Calhoun, menyebut agama terdiri dari beberapa unsur pokok: pertama kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi. Kedua, simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya. Ketiga, praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama. Keempat, pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi. Kelima, umat beragama, yakni penganut masing-masing agama (Yused, 1987, hlm. 17-20).
Generasi muda pada masa kini sedang mencari jati diri dan identitas memang sangat rentan menjadi korban atas infiltrasi gerakan radikalisme dan terorisme. Kelompok radikal dan teroris menjadikan remaja sebagai target utama untuk direkrut.
Ada beberapa indikasi masalah radikalisme pada generasi muda, yaitu lemahnya tujuan kebangsaan, pandangan keagamaan yang eksklusif, penyebaran paham radikalisme baik konvensional dan digital, dan infiltrasi organisasi radikal dan teroris.
Maraknya tindakan radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia , berawal dari persepsi yang keliru tentang makna jihad dan ajaran agama. Seolah-olah jihad identik dengan perang melawan musuh. Pemahaman yang sempit seperti ini akan membawa dampak yang besar terhadap perilaku keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang pemuda yang memahami agama secara sepenggal itu, cenderung menganggap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya adalah salah. Ia mengaggap, seolah-olah agama membenarkan adanya tindak kekerasan sebagai upaya mengajak orang lain agar sepaham dan sependapat dengan dirinya. Padahal agama, khususnya Islam justru menekankan pada kejernihan hati, toleransi, silaturrahim, dan saling menghormati satu sama lainnya. Hal positif seperti itu, tentu jauh dari persepsi kebencian dan kekerasan.
Namun fakta di lapangan, banyak kelompok yang melakukan kekerasan dengan dalih membela agama. Diperlukan adanya upaya konkrit untuk merubah paradigma keliru tersebut. Misalnya melakukan sosialisasi dan pendampingan terhadap remaja agar generasi bangsa ini tidak terpengaruh oleh doktrin yang tidak bertanggung jawab tersebut. Tindakan radikalisme dan terorisme yang kerap terjadi di Indonesia berawal dari kesalahan persepsi yang keliru dalam memahami jihad dan ajaran agama. Pandangan yang keliru tadi, berpadu dengan darah muda yang sedang bergejolak dan sedang mencari jati dirinya. Kemudian, seolah-olah membenarkan adanya agresifitas, adanya kekerasan dan hal-hal yang sifatnya justru tidak sesuai dengan apa yang diajarkan agama. Hal yang harus diubah secara bersama-sama dengan berbagai cara yang positif, namun juga tepat mengena pada hati para generasi muda.
Seorang reponden menyebut terorisme itu adalah tindakan yang keliru. Tindakan tersebut justru melanggar apa yang sebenarnya diajarkan oleh agama. Karena itu perlu diperangi bersama dengan berbagai cara yang tepat dan efektif. Misalnya, kalau petugas keamanan segera melakukan pengamanan di berbagai tempat. Bagi kalangan generasi muda harus merangkul mereka dan mengajaknya ke jalan yang lebih tepat dan tidak melakukan tindakan kekerasan dan terorisme dengan berlabel agama.
Berbagai media digunakan sebagai sarana untuk kampanye bahaya laten kekerasan dan terorisme sangat efektif bagi generasi muda sebagai targetnya diantaranya dengan menyebarluaskannya melalui media televisi, surat kabar, radio maupun internet. Menjadi sesuatu hal yang membuat publik miris jika mengamati perkembangan terorisme yang memanfaatkan kaum muda sebagai alat untuk mengacaukan masyarakat. Remaja sebagai generasi muda bangsa semestinya diselamatkan dari pengaruh doktrin radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme ini. agar para remaja terhindar dari pengaruh doktrin radikalisme ini, peran orangtua, keluarga, dan lingkungan masyarakat sangat penting. Sebab, tanpa peran aktif mereka, para remaja bisa saja terjebak pada kelompok radikal yang sedang marak merekrut remaja dalam organisasinya. Belakangan ini, banyak para remaja menjadi pelaku tindakan terorisme dan bom bunuh diri. Pertama, para remaja seringkali kurang mendapatkan perhatian, misalnya dari pihak keluarga. Baik kurang perhatian karena lingkungan, keadaan ekonomi, maupun kesibukan orangtua. Atau karena memang tidak ada suatu pola pendidikan yang tepat di dalam keluarga tersebut, sehingga anak mencari-cari sendiri.
Dalam masa pencarian ini, seringkali seorang remaja yang masih labil bertemu dengan pihak yang sama-sama frustasi. Sebab di komunitasnya, mereka merasa tidak mendapatkan perhatian dan tidak dihargai potensi-potensi unggulnya.
Situasi yang frustasi dalam mencari identitas diri tersebut, dipadu juga dengan semangat yang membara sebagai generasi muda, akhirnya bertemu dengan suatu ideologi yang keliru yang justru mengajarkan bahwa agama membenarkan berbagai tindak kekerasan. Situasi seperti ini sangat merugikan bagi masa depan generasi muda.
Hal ini harus disadari bersama, agar para orangtua, guru, dan masyarakat memberikan perhatian yang serius pada anak-anak dan generasi muda. Sebab, para remaja memang senang sekali melakukan sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai heroisme, niali-nilai jihad, nilai-nilai suatu pengorbanan suci, dan sebagainya. Namun, apabila semangat tersebut dibungkus oleh suatu ajaran yang keliru dan mengatasnamakan agama, maka akan menjadi sangat berbahaya, baik pada diri remaja itu maupun masyarakat secara luas.
Satu-satunya cara adalah kaum remaja bersaing dengan para penyebar ajaran-ajaran yang keliru. Misalnya menganjurkan pada para orangtua untuk kembali ke keluarga, sesibuk apapun mereka, jangan lupakan keluarga, karena keluarga adalah tanggung jawab para orangtua itu. Kemudian melakukan dialog, komunikasi efektif, diskusi bersama di dalam keluarga tersebut. Kedua adalah lingkungan masyarakat sekitar, mungkin lembaga setingkat RT/RW, itu juga diberdayakan untuk menghimpun para remajanya. Jadi, masyarakat bisa mengetahui dengan pasti remaja-remaja ini mempunyai kegiatan apa dan di mana. Bisa juga para remaja ini dilibatkan dalam kegiatan organisasi remaja-remaja RT, kemudian ada pertemuan rutin, ada kegiatan yang positif, dan ada penghargaan atau apresiasi terhadap remaja yang berprestasi. Dengan demikian, mereka tidak akan ada waktu lagi untuk bisa dijejali dengan hal-hal yang keliru tadi.
Hal ini harus menjadi suatu gerakan bersama di mana lembaga keluarga dan sekolah sebagai dasar dari lembaga komunitas yang paling kecil dan paling bertanggung jawab, dengan segala sesuatu yang ada dalam masyarakat kita itu juga diperdayakan untuk bisa mengendalikan para remajanya.
Responden lainnya menyebutkan kalau terhadap remaja ini memang belum terlalu optimal. Saat ini, misalnya konsentrasi pemerintah lebih pada persoalan narkoba, padahal permasalahan remaja tidak hanya itu. Jadi, mungkin pemerintah juga perlu memberdayakan berbagai organisasi-organisasi remaja, seperti Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), dan Karang Taruna. Pemerintah juga harus memberikan apresiasi pada para remaja, misalnya remaja masjid. Selain itu, harus ada bimbingan dan panduan untuk melakukan berbagai kegiatan-kegiatannya. Pemerintah berupaya memberdayakan remaja tersebut melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan sebagainya. Jadi, pemahaman pada remaja yang juga dalam undang-undang perlindungan anak sebagian juga masih tergolong anak itu harus menjadi salah satu skala prioritas pemerintah.
Dari sekian banyak lembaga pemerintah yang ada, belum ada yang cukup efektif dalam menangani persoalan radikalisme dan terorisme ini. Hal yang justru makin melemahkan, dalam artian anggaran untuk menangani persoalan ini kurang besar. Misalnya di Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemuda dan Olahraga. Perlindungan anak ini juga harus menjadi bagian dari program pemerintah, seperti melindungi anak-anak dari jeratan, ajakan, dan jebakan yang bisa merusak para remaja dan memanfaatkannya serta memperalat mereka untuk melakukan bom bunuh diri, meresahkan masyarakat dan lain sebagainya.
Tindakan kekerasan dan terorisme tidak bisa dibenarkan. Kekerasan berlabel agama yang seolah-seolah tugas suci dan mulia itu, sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Tetap berpikir jernih, tetap waspada terhadap kemungkinan adanya pihak yang akan menyalahgunakan potensi para remaja ini. Kita tetap menyadari bahwa agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, tidak ada yang mengajarkan terorisme dengan melakukan suatu tindakan yang justru merugikan diri para remaja, maupun masyarakat secara luas (Asfar , 2004, hlm. 45-48).
Tanggal 11 September 2001 d engan tesis Samuel Huntington (1996) mengenai benturan peradaban (the clash of civilization) antara Barat dan Islam. Pada konteks inilah Islam telah disorot tajam dan bahkan dijadikan sebagai “agama tertuduh” karena terus dikaitkan dengan serangkaian tindakan radikalisme dan terorisme. Praduga yang menyudutkan Islam ini jelas memerlukan perhatian serius, karena; pertama, Islam sebagai doktrin merupakan agama yang tidak pernah mengajarkan kekerasan dan terorisme. Kedua, Islam tidak dapat dipandang secara monolitik (tunggal). Islam adalah agama yang memiliki sejumlah aliran dan paham keagamaan dengan budaya dan karakter yang berbeda-beda (Asfar, 2004). Dengan demikian, pandangan terhadap Islam dari sisi tertentu hanya akan melahirkan gambaran yang parsial dan belum menunjukkan keadaan yang sebenarnya.
- KAJIAN PENDIDIKAN IPS
National Council for Social Studies definisi IPS (social studies) adalah sebagai berikut :
“Social studies is the integrated study of social science and humanities topromote civic competence. Within the school pogram, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology as well as appropriate content from humanities, mathematics and natural sciences”.
IPS merupakan studi terintegrasi dari ilmu-IPS untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun dalam beberapa disiplin ilmu, seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat ilmu-ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, dan juga memuat isi dari humaniora dan ilmu-ilmu alam. Senada dengan pendapat Barth di atas, Pusat Kurikulum mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai integrasi dari berbagai cabang ilmu-IPS seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-IPS seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya (Pusat Kurikulum, 2006: 5).
Social studies di AS dikawal karena sangat penting untuk perkembangan intelektual masyaraakat, data di Indonesia sekarang ini 25% lulusan melanjutkan ke PT, sedangkan yang lain terjun ke masyarakat. Mereka biasanya belum siap untuk menjalani kehidupan secara mantap di masyarakat, karena kurangnya keahlian dan ketrampilan termasuk di dalamnya ketrampilan sosial yang mereka miliki.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan ‘social engineering’ sehingga social studies sangat rentan terhadap global dan regional, dan sebagai salah satu cara melihat kondisi perubahan sosial. Pertemuan forum rektor di UGM menyatakan bahwa IPS sangat dipengaruhi oleh politik. Hal ini mengingat bahwa dalam forum rektor tersebut dibahas mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini dan IPS sebaiknya diarahkan untuk membantu memecahkan masalah-masalah tersebut. Karena itu dosen IPS harus berpegangan pada spirit Indonesia.
Ontologi IPS dari humanities dan social sciences. Bill Jhonson menyatakan bahwa IPS berbeda dengan pendidikan IPS. IPS Kelompok Mata pelajaran yang diberikan di SD-SMA. PIPS itu hanya diberikan di LPTK yang merupakan gabungan dari ilmu pendidikan & ilmu sosial, dan menurut Barr tak bisa digabungkan antara keduanya. IIS berdasarkan filsafat ilmu, Pendidikan IPS berdasarkan filsafat pendidikan. Dalam Ilmu-ilmu tak ada values free dan tak bebas emosi.
Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu label mata pelajaran di Sekolah Dasar dan Menengah. Pemikiran tentang IPS di Indonesia, pada hakikatnya diilhami oleh kurikulum di negara-negara Barat, seperti Australia dan Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang telah menunjukkan reputasi akademisnya dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial, reputasi tersebut tampak pada perkembangan pemikiran sebagai karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS) yang pertama kalinya sejak tanggal 20-30 November 1935 hingga sekarang. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa “Social Sciences the core of the curriculum” dalam kerangka pemikiran yang belum solid, ketidaksolidan tersebut menurut Winataputera karena : “Pertemuan tersebut penuh dengan kebingungan dan dengan refleksi pemikiran yang tidak jelas sebagai dampak dari perdebatan kaum intelektual yang tidak terselesaikan di tengah-tengah situasi sosial, politik, dan ekonomi yang penuh gejolak” Longstreat (1965) dalam Winataputera, (2002:1.3).
Pilar historis-epistemologis social studies yang pertama berupa definisi tentang social studies telah dipancangkan oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 (Barr, Barth, dan Shermis (1977), yaitu “The social studies as the social science simplified pedagogical purpose”. Maksudnya adalah “bahwa social studies adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan” (Winataputera, 2002:1.3).
IPS atau Social studies di dalamnya mencakup berbagai konsep yang berhubungan dengan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, geografi, dan filsafat yang dipilih untuk tujuan pembelajaran pada jenjang sekolah dan perguruan tinggi. Namun bila dianalisis, pengertian social studies memberikan gambaran bahwa social studies merupakan disiplin dari ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan, baik pada tingkat pendidikan dasar dan menengah maupun pada tingkat pendidikan tinggi. Oleh karena itu aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi dan disesuaikan dengan tujuan Institusional dan tujuan kurikuler pembelajaran tersebut.
IPS atau Social studies dapat berperan sebagai ajang latihan sikap “reflective thinking” sebagaimana ditekankan oleh Barr, (1977:37) dan diperkuat oleh Shirley Engle yang pada tahun 1960 menerbitkan buku “Decision making”. Selanjutnya Barr (1978:17-19), mengajukan definisi yang di dalamnya mengandung tiga tradisi pedagogis, yang dianggap sebagai pilar utama dari social studies, yang di dalamnya tersurat beberapa hal, yaitu tentang: (1) social studies merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, (2) misi utama social studies adalah pendidikan kewarganegaraan, (3) sumber utama konten social studies adalah social sciences dan humanistis, (4) dalam upaya menyiapkan masyarakat yang demokratis, terbuka kemungkinan perbedaan dalam orientasi, visi, tujuan, dan metode pembelajaran.
Dengan demikian dalam IPS terdapat tiga tradisi, antara lain : 1) IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (citizenship transmission); 2) IPS diajarkan sebagai ilmu-ilmu sosial; 3) IPS diajarkan sebagai reflektif inquiry (reflective inquiry). Namun di Indonesia IPS cenderung diajarkan sebagai social siencies bukan social inquiry (yang banyak diikuti oleh ilmu-ilmu sosial & oleh ilmuwan-ilmuwan sejati) sekarang ini ilmuwan-ilmuwan sosial sudah tidak lagi menggunakan langgkah-langkah berpikir ilmuwan sosial. Untuk lebih jelasnya ketiga tradisi tersebut adalah sebagai berikut :
- Tradisi Citizenship Transmission :
Merujuk pada suatu modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang baik, yang ditandai oleh “conforms certain accepted practice, hold particular beliefs, is loyal to certain values, participates in certain activities, and conforms to norms which are often local character (Barr, dkk, 1978:22). Atau dengan kata lain, tradisi ini bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang baik sesuai dengan norma yang telah diterima secara baku dalam negaranya;
- Tradisi Social Science :
Merupakan modus pembelajaran sosial yang bertujuan mengembangkan karakter warga negara yang baik. Atau dengan kata lain tradisi ini memusatkan perhatian pada upaya mengembangkan karakter warga negara yang baik yang ditandai oleh kemampuannya dalam melihat dan mengatasi masalah-masalah sosial dan personal dengan menggunakan visi dan cara kerja sosial;
- Tradisi Reflective Inquiry :
Merupakan modus pembelajaran social yang menekankan pada hal yang sama, yaitu pengembangan warga negara yang baik dengan kriteria yang berbeda, yaitu memusatkan perhatian pada pengembangan karakter warga negara yang baik dengan ciri pokok mampu mengambil keputusan.
Dalam Konferensi NCSS tahun 1994 ada pemilihan texs book social studies yg paling bagus, ternyata texs book yang terbagus tahun 1955, karena teksbook yang sekarang membahas yang tabu. Karena yang paling tabu ini memicu orang untuk tahu itulah yang diterbitkan 1955.
Landasan filosofis IPS adalah reconstructionism adalah rekontruksi dari perenialisme, esensialism dan progresivism. Yang paling banyak berpengaruh progresivism, menurut Jhon Dewey di sekolah, yaitu mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas dan bukan di perguruan tinggi, karena di perguruan tinggi berdasarkan disiplin ilmu.
Keterkaitan Ilmu-ilmu Sosial (IS) dengan Ilmu Pengetahuan Sosial
IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang-cabang ilmu-ilmu sosial. IPS dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang ilmu-ilmu sosial. IPS atau studi sosial itu merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang diturunkan dari isi materi cabang ilmu-ilmu sosial, yaitu sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat, dan psikologi sosial.
Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial. Secara intensif konsep-konsep ilmu-ilmu sosial dipakai dalam IPS atau studi sosial.
Social Studies the Next Generation Researching in the Post Modern diedit oleh Avner Segall, Elizabeth E. Heilman, Cleo H. Cherryholmes, New York: Peter Lang Publishing Inc menjelaskan tentang pembelajaran IPS dimasa kini dan mendatang dalam kajian postmo, salah satunya mengupas hidup dalam demokrasi yang mengharuskan kita untuk kritis mengevaluasi kebijakan yang beragam dan kontroversial dan praktek dan juga untuk dapat mentolerir hak untuk memegang pandangan yang sangat berbeda dari kita sendiri. Demokrasi bergantung pada pengelola kebijakan. Masyarakat dan institusi demokratis melibatkan perjuangan bagi budaya dan kekuasaan, menghasilkan nafsu manusia yang bertanggung jawab untuk menantang perdamaian dan stabilitas. Setiap “building block” demokrasi mengandung benih kekerasan, masing-masing perlu nilai-nilai, keterampilan, dan disposisi untuk pengelolaan pengelolaan secara damai dan berharga. Kapasitas ini tidak datang secara alami, dan masyarakat perlu dididik untuk membantu mengembangkan mereka. Pada bagian ini, berbagai teori dan metode yang disajikan untuk mendidik guru mengutamakan bagaimana mengajar kejadian terkini dengan kontroversi di kelas.
Siswa terlibat dalam pembelajaran peristiwa saat kini, terkait membahas isu-isu kontroversial. Sebuah tantangan umum bagi guru, adalah bagaimana memfasilitasi diskusi yang berarti tentang kejadian terkini dan isu-isu kontroversial tanpa membiarkan mereka mendiskusikan polemik, terlalu pribadi, atau jatuh pada perdebatan sepele. Dalam bab-bab berikutnya, pendidik mengeksplorasi beragam pendekatan, dipengaruhi oleh pengalaman mereka profesional dan pribadi, tentang bagaimana untuk memajukan pendidikan peristiwa terkini dan mengefektifkan belajar. Pada kelas atas, ada kontroversi mengenai bagaimana guru membentuk keyakinan mereka mengerucut pada pengajaran kejadian terkini di dalam kelas. Perdebatan ini ada mengenai apakah guru harus berbagi keyakinan pribadi mereka, sama sekali atau sebagian, atau melakukan yang terbaik untuk menjaga netralitas lengkap ketika memfasilitasi diskusi tentang peristiwa saat ini.
IPS merupakan bidang studi yang menghormati, mempelajari, mengolah, dan membahas hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah human relationship hingga benar benar dapat dipahami dan diperoleh pemecahannya. Penyajiannya harus merupakan bentuk yang terpadu dari berbagai ilmu sosial yang telah terpilih, kemudian disederhanakan sesuai dengan kepentingan sekolah-sekolah. Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala, dan masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing masing (Calhoun, 1994). Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan yang luas, yaitu lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau.
Hess dalam (Calhoun, 1994) menekankan bahwa pendidik perlu menyadari bahwa pandangan mereka secara pribadi atau politik mempengaruhi apa dan bagaimana mereka mengajar. Dia berfokus secara khusus pada dua cara pandangan guru pendidik ‘mempengaruhi keyakinan: konsep apa yang menjadi isu kontroversial mereka dan berapa banyak (jika ada) guru harus mengungkapkan keyakinan pribadi mereka. Hal ini diteliti lebih lanjut dalam bab Thomas Levine, “Mempersiapkan Guru Masa Depan dan Warga Negara untuk Menangani Masalah Kontroversial: Debat Empat Sudut” Levine mengartikulasikan bagaimana “debat empat sudut” dapat digunakan untuk memeriksa apakah guru harus mengungkapkan sudut pandang pribadi mereka, tidak selalu dimulai mulai dari guru.
Warga negara yang baik menampilkan peta dan memikirkan masalah sebelum mencapai kesimpulan dan mengambil tindakan dalam kehidupan publik. Yang pertama membutuhkan semangat bertanya dalam rangka untuk melakukan hal ini, yang merupakan keterbukaan emosional dan intelektual terhadap ide-ide baru dan bahkan sulit dan pengalaman (Calhoun, 1994). Warga juga harus mampu membuat penilaian, yang memerlukan kemampuan intelektual untuk menilai konsep logika, kebijakan, dan argumen bersama dengan kemampuan menilai etika dengan alasan demokrasi. Para siswa terbantu mengembangkan kapasitas dan memahami bahwa mengeksplorasi kontroversi adalah dasar bagi demokrasi.
Ilmu-ilmu sosial juga dapat digunakan untuk menjelaskan trend revivalisme Islam yang akhir-akhir ini mengalami p eningkatan di dunia Arab-Islam. Misalnya d alam perdebatan mengenai Islam politik (political Islam) dan religiousitas Islam (Islamic religious) (Asfar, 2004). Islam politik, yang kemudian sering dipahami sebagai Islam fundamentalis atau Islam radikal, merupakan wacana yang menarik diamati. Apalagi jika strategi perjuangan Islam politik yang menginginkan institusionalisasi Islam dalam bentuk negara dihadapkan secara diametral dengan strategi perjuangan Islam kultural yang mementingkan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat (Asfar, 2004, hlm. 37-39). Di Indonesia, perdebatan kedua kelompok tersebut juga masih terus terjadi hingga kini.
Mengenai karakteristik terorisme sebagai wujud radikalisme dari individu atau kelompok yang berideologikan fundamentalisme, dapat dijelaskan dengan merujuk pada kajian Dekmejian (1980: 1-3). Menurutnya, terdapat tiga karakteristik gerakan fundamentalisme, yakni; merata/ menyeluruh (pervasiveness), memiliki banyak pu sat (polycentrism), dan bersifat terus-menerus (persistence). Karakteristik pertama menunjukkan bahwa gerakan-gerakan yang berideologi fundamentalisme itu bersifat merata di hampir seluruh dunia. Fenomena gerakan fundamentalisme yang umumnya menonjolkan aspek simbol dari ajaran Islam bersifat trans-nasional, terjadi baik di negara yang berpenduduk mayoritas muslim, seperti Arab, Nigeria, Turki, Pakistan, dan Indonesia; maupun Negara yang berpenduduk minoritas muslim, seperti India, Filipina, dan di sejumlah negara Barat (Akbar, 2003, hlm. 19). Dapat dicontohkan gerakan Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di Mesir dan Syria, Jama’ at-i al-Islamiy (India, Pakistan), Hizbullah (Libanon), Hizb al-Da’wah (Iraq, the Gulf States), dan Jama’ ah Islamiyah (JI) di Indonesia. Gerakan -gerakan ini secara umum menempuh cara-cara radikal dalam menyampaikan pesan keagamaan.
Karakteristik kedua adalah polycentrism. Karakter ini ditandai oleh banyaknya organisai yang berideologi fundamentalis. Di Indonesia, kita dapat mengamati berbagai organisasi yang dapat direpresentasikan sebagai fundamentalisme dengan gerakan yang cenderung radikal. Uniknya, ternyata pada masing-masing organisasi tersebut tidak ada yang memiliki hubungan organisatoris. Setiap gerakan fund amentalis bertumpu pada tokoh-tokoh lokal yang biasanya memiliki tipikal kepemimpinan kharismatik-nativistik (Akbar, 2003). Melalui mereka inilah faham keagamaan (keislaman) yang radikalis-reaksioner diindoktrinasikan kepada pengikutnya. Sedangkan karakter yang ketiga adalah pervasiveness, yang menekankan pada aspek kontinuitas. Dalam perspektif inilah kita melihat gerakan terorisme dilakukan secara terus-menerus, cenderung tampil ngotot, tidak mudah menyerah, serta berani mengambil resiko apa pun (Calhoun, 1994). Karakter ini juga mengharuskan tokoh-tokoh lokal di setiap gerakan untuk selalu merekrut kader-kader yang siap diajak berjuang. Dengan mengamati karakter ketiga ini dapat dipahami, mengapa gerakan keagamaan (keislaman) yang radikalisreaksioner selalu muncul dan sulit dilumpuhkan. Persoalan akan menjadi semakin kompleks tatkala gerakan radikal ini telah bermetamorfosis sebagai ideologi di kalangan pemuda.
Pembelajaran IPS di MTs Assunnah Kota Cirebon sama seperti halnya di sekolah lainnya. Yang membedakannya adalah pemisahan kelas berdasarkan jenis kelamin. Namun esensi pembelajaran IPS tetap mengacu pada kurikulum 2013. Mengantisipasi anggapan yang semata-mata memojokkan diantaranya Yayasan Assunnah Cirebon Termasuk dari 12 Yayasan wahabi radikal / bukan radikal tapi berpotensi radikal dan tulisan lain dari kedua lembaga pemberitaan tersebut terkait hal ini yang berbeda-beda dan saling bertolak belakang maka sesungguhnya: pertama Yayasan Assunnah Cirebon resmi mempunyai legalitas hukum dari Kemenkumham, kedua Yayasan Assunnah Cirebon dalam ilmu, amal dan dakwahnya bermanhaj ( mempunyai metode ) Al Qur’an dan Al-Hadits dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah/ Assalafushalih (para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) Rodhialloohu ‘anhum. Ketiga, Dalam berdakwah, Yayasan Assunnah Cirebon mengedepankan keilmiyahan, hikmah, dan kelembutan. Keempat, Yayasan Assunnah Cirebon mendakwahkan untuk mentaati pemerintah RI dalam hal yang ma’ruf dan menyerukan untuk tidak melawan/berdemonstrasi/ memberontak kepada pemerintah. Jika diperlukan nasihat kepada Pemerintah, maka harus dilakukan dengan cara yang baik dan santun secara langsung dengan mendatanginya, dan mendakwahkan kepada ummat untuk mendoakan Pemerintah dengan doa-doa kebaikan untuk mereka. Kelima, Yayasan Assunnah Cirebon menyelengarakan pendidikan resmi berafiliasi dengan Dinas Pendidikkan dan Kemenag RI dan tidak pernah ada satu pun santri atau alumni yang menjadi tersangka pengeboman, hal ini bisa dicek dari catatan data santri dan instrument manajemen lainnya. Keenam, Yayasan Assunnah Cirebon aktif membantu pemerintah untuk meluruskan pemahaman terorisme dan radikalisme, melalui media Radio Dakwah, Majelis Ta’lim, membagikan buku-buku tentang bahaya radikalisme dan terorisme dan Tabligh akbar tentang itu yang bekerjasama dengan Polres Cirebon Kota dan pihak keamanan terkait. Ketujuh, mengenai wahabi, telah menjadi isu pemecah belah antara paham tradisional dan pemahaman pemurnian Islam sejak dahulu. Sejatinya, beberapa Ormas yang mempunyai pemahaman pemurnian Islam dan Ormas yang mempunyai pemahaman tradisional tersebut sudah ada sejak dulu dan kedua belah pihak selalu berusaha untuk berdiri diatas tatanan ilmiyah dan mempertahankan ukhuwah Islamiyah.
Namun munculnya aktifis dakwah di daerah melalui yayasan-yayasan salafiyah Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengusung pemurnian Islam di berbagai wilayah di Indonesia seolah menjadi ‘wahabi baru yang radikal’ isu ini diusung dan diprovokasi oleh pihak ketiga untuk memecah belah masyarakat bahkan memprovokasi mereka untuk bermusuhan. Kedelapan, dengan mengedepankan keilmiahan, mempertahankan ukhuwah Islamiyah, persatuan dan ketentraman Bangsa. Menebar berita bohong dan data yang tidak valid adalah mufakat sebuah kedzaliman dan melanggar peraturan dan perundangan Pers Indonesia, contohnya seperti kesalahan alamat Yayasan Assunnah Cirebon adalah suatu hal yang dianggap sepele akan tetapi fatal. Tuduhan Yayasan Assunnah Cirebon sebagai yayasan radikal, santrinya menjadi tersangka pengeboman, melarang ziarah kubur dan mengkafirkan warga Ormas tertentu adalah tuduhan dusta dan dzalim yang dialamatkan kepada Yayasan Assunah Cirebon. Kesembilan, yayasan Assunnah mengedepankan keilmiyahan, mempertahankan ukhuwah Islamiyah, persatuan dan ketentraman bangsa, menjauhi provokasi serta su’udzon. Mari mengedepankan komunikasi yang sehat dan adil. Untuk Lembaga pemberitaan dan narasumber sebaiknya lebih arif dan cerdas lagi dalam mengangkat issue dengan mengecek data, tabayyun dan memperhatikan etika Islami dalam menyampaikan informasi dan juga peraturan dan perundangan pers yang berlaku. Kesepuluh, Yayasan Assunnah Cirebon selalu siap bekerjasama dengan pemerintah NKRI untuk meluruskan pemahaman dan memerangi pemikiran radikal dan terorisme/khawarij. Sebelas, Yayasan Assunnah mempersilahkan siapapun untuk berkunjung, bersilaturrahim untuk tabayyun atau konfirmasi untuk lebih mengenal Yayasan Assunnah Cirebon.
- KESIMPULAN
Pendidikan karakter di Indonesia belum memperlihatkan hasil maksimal. Indikasinya, aspek penerapan pendidikan karakter di Indonesia masih gagal membentuk bangsa yang bermartabat dan berwibawa. Kegagalan pencapaian tujuan pendidikan tersebut terlihat dari maraknya berbagai fenomena kenakalan remaja, seperti maraknya tawuran antar pelajar, penggunaan narkoba dan psikotropika, pemerasan dan kekerasan (bullying), kecenderungan dominasi senior terhadap junior, pergaulan bebas, kecurangan dalam ujian, plagiarisme dan sebagainya.
Pada masyarakat Indonesia, indikator hal tersebut dapat dilihat dari etos kerja yang buruk, tingkat kedisiplinan yang rendah, kurangnya semangat kerja keras, keinginan hidup yang mudah tanpa kerja keras, serta sifat materialisme dan hedonisme. Dalam diskursus di tingkat global, munculnya paham Darwinisme yang hanya memandang realitas fisik sebagai hal utama dan memandang inferior masalah moralitas, bangkitnya logika positivisme, yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran moral dan tidak ada sasaran benar atau salah.
KEPUSTAKAAN
Ahmed , Akbar S. 2003. Islam Sebagai Tertuduh. Terj. Agung Prihantoro. Bandung: Mizan Pustaka.
Ali Syed A Yused. 1987. “Islam and Modern Education.” Muslim Education Quarterly 4 (2):36–44. “Islam and Modern Pendidikan.” Pendidikan Triwulanan Muslim 4 (2) :36-44.
Ali, Maulana Muhammad. 1978. Holy Qur’an. Lahore: TTP.
Al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim. TT. Ilmu al-Muwaqqi’in, Juz III. Beirut: Daral-Fikr.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din. TT. Tadrib al-Rawi Syarh al-Taqrib al-Nawawi, Juz I.
Al-Syathibi. TT. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, VI. Kairo: Maktabah Tijariyah Kubra.
Alvin Y. So, Suwarsono, (2000) Perubahan Sosial dan Pembangunan, Bandung, LP3ES
Alwasilah, Chaedar. 2000. Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Al-Zarnuji, Burhan Al-Din . 1947. Ta’alim al-Muta’allim: Tariq al-Ta’allum (Instruction of the student: The method of learning), trans. 1947 Ta’alim al-Muta’allim: Tariq al-Ta’allum (Instruksi siswa: Metode pembelajaran), trans.. Gustave Edmund von Grunebaum and Theodora M. Abel. Gustave von Grunebaum Edmund dan Theodora M. Abel. New York: Kings Crown Press. New York: Kings Crown Press.
Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam”, dalam John Hendri Meuleman (Peny), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammad Arkoun (Yogyakarta: LkiS, 1996) hal. 13-14.
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004), 268.
Amin, Haedari & Ishom El Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004.
Andian Husaini dan Henri Salahudin. Lihat Bundel Islamia. Jakarta Selatan.Khairul bayan. 2004.Hal: 33
Asfar , M. 2004. Agama, Terorisme dan Gerakan Radikal Islam: Perspektif Global. Faku ltas Ushulud d in IAIN Sunan Ampel Press.
Calhoun, C., (Ed.), 1994, Social Theory and the Politics of Identity, Oxford: Blackwell.
Cassirer, E., (1987), An Essay On Man. (Terj.: Alois A. Nugroho), Gramedia, Jakarta, 1987.
Castells, M., 2004, The Power of Identity, Malden, MA: Blackwell Publishing.
Cohen, L dan Manion, L. 1995. Research Methods in Education. London: Routledge.
Cook , Bradley J. J. 1999. 1999. “Islamic versus Western Conceptions of Education: Reflections on Egypt.” International Review of Education 45:339–357. “Islam vs Barat Konsepsi Pendidikan: Refleksi di Mesir.” International Review of Education 45:339-357.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. (terj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell.J.W. 2005. Educational Research. Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Reserach, Second Edition. Pearson Merrill Prentice Hall. New Jersey.
Crow dan Crow, 1990. Pengantar Ilmu Pendidikan,Yogyakarta:Rake sarasin, Edisi III hal.75
Dauderstadt, Michel. 2001. “World in Autumn: New Risks and New Front Lines After 11 September”, dalam Security Dialogue Asia-Europe. Singapore: Friedrich Ebert Stiftung.
Dekmejian, R. Hrair. 1980. “The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis, Ethnic Conflict and the Search for Islamic Alternatives.” The Middle East Journal. 34, 1.
Ehrke, Michael. 2001. “11 September 2001: Attacks on Which Civilization” dalam Security Dialogue Asia-Europe. Singapore: Fried rich Ebert Stiftung.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and The Remarking in of World Order. New York: Simon and Schuster.